{ads}

6/recent/ticker-posts

Tradisi Baju Lebaran: Sejarah, Asal Usul, dan Hukumnya dalam Islam

Ilustrasi (Foto: unsplash)

 


Muslimahkertas.web.id, Membeli baju baru sebagai baju lebaran telah mentradisi di kalangan masyarakat. Saking melekatnya, ada yang sampai merasa tidak lengkap jika menyambut idul fitri tanpa mengenakan baju baru. Sebenarnya bagaimana sejarah kemunculan tradisi ini dan bagaimana persoalan baju lebaran menurut syariat Islam. Berikut penjelasannya.


1. Sejarah Tradisi Baju Lebaran

Baju lebaran sudah menjadi tradisi yang membudaya di masyarakat untuk dikenakan di hari raya. Adawiya dalam Bincang Syariah mengutip Fathul Bari menyebutkan bahwa berhias dan mengenakan pakaian terbaik di hari raya sudah menjadi tradisi di kalangan para sahabat namun tidak diingkari oleh Rasulullah Saw. berdasarkan hadis dari Ibnu Umar ra. berikut.
Umar mengambil sebuah jubah sutra yang dijual dipasar, ia mengambilnya dan membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini serta berhiaslah dengan jubah ini di hari raya dan penyambutan. Rasulullah berkata kepada Umar : “Sesungguhnya jubah ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian ”. (HR. Bukhari).
Dalam konteks keindonesiaan, mengutip Hanggoro dalam Historia, kebiasaan membeli baju lebaran terjadi sejak awal abad ke 20 menurut informasi dari Snouck Hurgronje dalam masa kepegawaiannya di Hindia Belanda. Akan tetapi pada masa pendudukan Jepang, tradisi ini terhambat karena bahan pangan banyak hilang, barang barang menjadi langka akibat terus ditekan untuk kepentingan militer Jepang. Tradisi ini mulai normal kembali sejak Indonesia merdeka dan terus membudaya hingga saat ini.

2. Hukum Baju Lebaran Menurut Islam

Sayyid Sabiq dalam bukunya: Fikih Sunnah 2, pada hari raya idul fitri disunahkan mandi, memakai wewangian, memakai baju terbaik, makan sebelum 'id, serta melewati jalan berbeda ketika berangkat dan pulang dari salat.
Berkenaan memakai baju bagus,  Ja'far bin Muhammad meriwayatkan bahwa Nabi Saw. memakai burda hibarah (jenis pakaian buatan Yaman) pada tiap Hari Raya. Begitupun Hasanash-Shibti meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan mereka agar pada hari raya mengenakan pakaian yang terbagus. 
Meski disunahkan menggunakan pakaian paling bagus, tetapi niat harus diluruskan agar tidak terbersit kesombongan maupun sifat pamer. Dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, memakai pakaian terbaik itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt. 
Sebagaimana Allah itu indah dan menyukai keindahan, maka berhiaslah dengan pakaian seindah mungkin agar disukai Allah dan mengikuti apa yang disunahkan Rasulullah Saw. dalam menyambut hari raya. 
Mengenakan pakaian bagus di sini sebagai bentuk mengamalkan tahadduts bi an-ni'mah dalam surah adh-Dhuha ayat 8.
Pakaian terbaik tidak mesti diartikan harus selalu pakaian baru. Apalagi jika memicu perilaku konsumtif dan manjadi target marketing berlabel diskon. Pandai-pandailah mengukur diri sekiranya tidak perlu, atau bahkan tidak mampu yang dalam realitanya malah memaksakan diri demi tradisi yang melekat ini.
Menggunakan pakaian terbaik memang disunahkan. Apakah itu berupa pakaian baru maupun pakaian lama yang masih bagus. Esensi pakaian terbaik hendaknya tidak dipahami pakaian baru. Dan yang terpenting adalah tidak menjadikan tradisi membeli baju baru menodai khidmatnya menyambut hari raya yang fitri. 
Wallahu a'lam

3. Daftar Pustaka


Posting Komentar

0 Komentar