{ads}

6/recent/ticker-posts

Ciri Diterimanya Amal Ibadah di Bulan Ramadan

Orang sedang sujud dalam salat
Ilustrasi (Foto: iStock)



Muslimahkertas.web.id, Berbicara diterima tidaknya suatu amal, hanya Allah Swt. yang maha mengetahui hal tersebut. Tetapi indikasi diterimanya suatu amal bisa ditelusuri dengan memuhasyabah diri melalui rekam jejak yang sudah dan akan dilalui.  


1. Dimudahkan melakukan amal saleh lainnya

Zulkarnaen mengutip Ibnu Rajab bahwa ciri diterimanya suatu amal adalah orang yang melaksanakan kebaikan dilanjutkan dengan kebaikan lainnya, sedangkan ciri tidak diterimanya suatu amal adalah orang yang melaksanakan kebaikan dilanjutkan dengan amalan kejelekan. Zulkarnaen mencontohkan puasa syawal sebagai salah satu indikasi diterimanya puasa Ramadan. Karena seseorang telah melaksanakan kebaikan (berupa puasa Ramadan) dilanjutkan dengan kebaikan lainnya (berupa puasa syawal). Orang yang diterima amalnya, maka Allah akan memberinya taufik berupa amal kebaikan lanjutan atau berikutnya. Adapun Sultoni membahasakan ciri diterima amal adalah berbuah amal kebaikan setelahnya. Dan ciri tertolak adalah tidak berbuah amal kebaikan apa-apa. Sultoni mengutip Hasan Al-Bashri mengenai surah al-Lail ayat 5 sampai 10, bahwa tanda seorang hamba diterima Allah adalah memandunya pada ketaatan dan menjauhkannya dari maksiat.
Puasa Ramadan seseorang diterima ketika menuntunnya pada ketaatan yang lebih tinggi. Mengapa banyak yang mencontohkan puasa Syawal, sebab hal tersebut sebagai indikasi ketaatan dan kebaikan lanjutan pasca puasa wajib. Tetapi bukan berarti puasa Syawal sebagai satu-satunya indikator. Esensi makbulnya suatu amal adalah ketika seseorang dimudahkan Allah untuk melakukan amal saleh lain setelah suatu amal saleh dilakukan. 

2. Konsisten melakukan amal saleh meski Ramadan berlalu

Menurut Fajar, ciri diterimanya amal ibadah di bulan Ramadan adalah ada atsar yang melekat dalam diri berupa amal saleh yang rutin dilakukan di bulan Ramadan yang terus diamalkan meski Ramadan sudah berlalu. Apakah itu amal saleh ritual seperti puasa, tadarus al-Quran, salat, dan sebagainya, maupun amal saleh sosial seperti bersedekah, membantu kesulitan orang, dan sebagainya. 

Sebaliknya, ketika setelah ketaatan namun tetap diikuti maksiat, itu menjadi sebuah PR besar, apakah amal ibadah di bulan Ramadan diterima atau jangan-jangan tertolak.  

3. Merasakan manisnya beramal

Keikhlasan melakukan amal pun turut menjadi penentu diterimanya suatu amal yang akan mengantarkan seseorang pada manisnya beramal, seperti yang diungkapkan Ibnu Athaillah, bahwa isi hati tetap menjadi penentu diterima tidaknya suatu amal sebab meniscayakan keikhlasan dan ketulusan. Dan hanya individu itu sendiri yang bisa mengetahui apakah merasakan kelezatan beramal atau tidak. Sebab menurutnya, tanda diterimanya suatu amal ketika seseorang dapat merasakan manisnya amalan tersebut.

Dalam suatu hadis, Rasulullah saw memerintahkan Bilal dengan redaksi "Istirahatkanlah kami dengan salat". Salat yang dimaknai istirahat menunjukkan betapa Rasulullah merasakan kelezatan dalam melakukan ibadah salat.

4. Khawatir amalnya tidak diterima

Dilansir dari laman Tafsir Alquran, diantara ciri seorang yang benar-benar beriman adalah merasa khawatir amalnya tidak diterima meskipun dirinya sudah beramal saleh. Aisyah ra. pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai ayat dalam surah al-Mukminun ayat 60 (alladzina yu`tuna mā ataw waqulubuhum wajilah), apakah yang dimaksud dengan ayat ini ialah orang berzina dan meminum khamar atau mencuri, dan karena itu ia takut kepada Tuhan dan siksa-Nya? Jawab Rasulullah saw., Yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengerjakan salat, berpuasa dan menafkahkan hartanya, namun dia merasa takut kalau-kalau amalnya itu termasuk amal yang tidak diterima (HR. Ahmad). Karena kekhawatiran itulah, mereka selalu terdorong untuk tak pernah bosan beramal karena belum tentu amal yang sudah dilakukan sudah diterima Allah. 
Khawatir di sini bukanlah bentuk buruk sangka kepada Allah, melainkan merasa belum melakukan amal dengan sebaik-baiknya. Ibnu Dinar dikutip  Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma'arif sampai mengatakan, "tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal."

5. Ikhlas dan Shawab

Syafaatunnisa mengutip tafsir Ibnu Katsir mengenai surah al-Mulk ayat 2,  Allah tidak menggunakan kata “paling banyak” amalan, melainkan kata “paling baik” amalan. Suatu amal dikatakan baik apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah Swt. dan sesuai dengan prinsip dasar Islam dan tuntunan Nabi. Maka, ketika satu dari dua hal ini tidak terpenuhi, amalan tersebut batal dan terhapus. Banyak beramal namun tidak ikhlas dan tidak mengikuti sunah, hanya akan menjadikan amalnya sia-sia.

Wallahu a'lam.

6. Daftar Pustaka

Fajar K. Amalmu Bukti Cintamu kepada Allah. (2023). Ukraina: Elex Media Komputindo.

Ibn 'Athaillah as-Sakandary. Al Hikam: Sebuah Kitab Tentang Kebijaksanaan. (2020). Anak Hebat Indonesia.

Ibnu Rajab Al-Hanbali. Latha'iful Ma'arif. (2024). Pustaka Al-Kautsar.

Sultoni, Ahmad. Panduan Salat Lengkap dan Praktis - Wajib dan Sunnah. (2017). Shira Media Group.

Zulkarnaen, A. Apakah Amalan Kita Diterima Allah Swt?. (2021). Gerhana Publishing.

 Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 57-60. https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-al-muminun-ayat-57-60. Diakses pada 31/08/2021.

Syafaatunnisa, Shopiah. Kriteria Amal yang Makbul. https://tafsiralquran.id/kriteria-amal-yang-makbul. Diakses pada 12/1/2023.

Posting Komentar

0 Komentar