![]() |
Ilustrasi (Foto: iStock) |
Muslimahkertas.web.id, Dalam surah Al-Baqarah ayat 185, Allah menyebutkan bolehnya orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa dengan redaksi fa'iddatun min ayyamin ukhar (menggantinya di hari yang lain). Dalam bahasa fikihnya, mengganti di sini adalah mengqadha puasanya. Qadha tidak hanya berlaku untuk orang sakit dan musafir, tapi ada juga kriteria lain yang ditetapkan dalam hadis nabi, antara lain wanita haid dan nifas serta ibu hamil dan menyusui menurut sebagian pendapat.
Dari Aisyah ra., "Kami mengalami haid. Kami diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha salat." (HR. Muslim).
1. Teknis Pelaksanaan Qadha Puasa
Qadha dilaksanakan dengan melakukan puasa di hari-hari selain bulan Ramadan. Qadha bisa dilakukan kapan saja dengan batas waktu hingga sebelum Ramadan berikutnya. Teknisnya bisa secara berturut-turut maupun terpisah.
2. Apabila Terlambat Menunaikan Qadha Puasa
Bagaimana jika menemui Ramadan berikutnya masih menanggung hutang puasa? Pada dasarnya hal ini tidak dibenarkan. Itulah mengapa para ulama menganjurkan untuk menyegerakan mengadha sebelum menemui Ramadan berikutnya atau tepatnya hingga di bulan Sya'ban. Bagaimana dengan kasus mereka yang terlambat dan masih menanggung hutang puasa? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Dalam buku Fikih Puasa Ahmad Sarwat, dinukil dua pendapat. Pendapat pertama, kewajiban qadha dan fidyah sebanyak hari ia tidak puasa karena diqiyaskan pada orang yang menyengaja tidak berpuasa. Ini pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad. Sedangkan pendapat kedua cukup mengqadha saja karena berpendapat tidak boleh mengqiyas. Ini pendapat mazhab Hanafi, Hasan Al-Bashri, dan Ibrahim an-Nakha'i.
3. Apabila Mati Meninggalkan Hutang Puasa
Ulama sepakat bahwa hutang puasa gugur bagi seseorang yang sakit tidak sempat qadha dan meninggal dunia. Adapun bagi yang sakit dan sempat sembuh namun meninggal dunia, para ulama berselisih pendapat.
Menurut Ahmad Sarwat, ada dua pendapat ulama mengenai hal ini. Pertama, keluarga almarhum megqadha puasanya. Ini merupakan pendapat para ahli hadis di kalangan Syafi'iyyah, juga Abu Tsaur dan Al-Auza'i. Dasarnya adalah hadis dari Aisyah ra.,
"Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, cukup membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur ulama seperti mazhsb syafi'iyah qaul jadid dan mazhab hanabilah. Dengan didasarkan pada dalil tentang larangan salat dan puasa untuk orang lain.
"Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan." (HR. An-Nasai).
Namun mazhab Hanafi dan Maliki mensyaratkan fidyah tersebut harus ada wasiat dari mayit, sebab merupakan hak waris.
Syaikh Yusuf Qardhawi berpendapat, perihal mengqadha bukanlah sebuah kewajiban, melainkan bentuk kebaikan semata. Boleh qadha namun tidak wajib, sebab seseorang tidak menanggung beban ibadah orang lain. Berkenaan fidyah adalah hak waris, menurut Syaikh Yusuf Qardhawi hendaknya fidyah ditunaikan karena pada harta mayit terdapat hak fakir miskin. Setelah menunaikan wasiat mayit atau hutang yang diamanahkan, barulah waris dibagikan. Wallahu a'lam.
0 Komentar