![]() |
Ilustrasi (Foto:iStock) |
Muslimahkertas.web.id, Sering kali seseorang menerjemahkan takwa hanya terfokus pada melalukan yang diperintah. Padahal, meninggalkan yang dilarang pun adalah bentuk takwa. Wanita haid yang meninggalkan salat, puasa, tawaf, adalah juga bentuk ibadah dan takwa. Apabila wanita haid salat misalnya, maka ia telah berdosa karena telah melakukan apa yang dilarang. Sampai di sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa haid adalah pemberian Allah, dan bentuk ketaatan seorang wanita haid adalah menaati apa yang menjadi ketentuan dari Allah swt. dengan meninggalkan salat, puasa, dan ibadah lainnya yang dilarang.
1. Pil penunda haid menurut Islam
Penggunaan pil penunda haid menjadi semacam pro dan kontra di kalangan wanita. Satu sisi, ini bisa menjadi solusi bagi wanita yang ingin menunaikan ibadah secara penuh, seperti untuk pelaksanaan haji dan umrah, maupun ibadah puasa. Di sisi lain, ada ketakutan dan kekhawatiran tersendiri bagi wanita, entah itu berupa efek samping serta hukumnya dalam Islam apakah dibolehkan atau tidak.
Dalam suatu hadis sahih yang diriwayatkan dari Aisyah (yang mengalami haid ketika sedang menunaikan ibadah haji). Ia berkata,
"Kami pergi dengan niat menunaikan haji. Saat kami tiba di Sarif, aku haid. Lalu Rasulullah saw.masuk menemuiku, sedangkan aku sedang menangis. Beliau lalu bertanya, ‘Mengapa engkau? Apakah engkau haid?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku tidak salat.’ Beliau bersabda, ‘Tidak apa-apa. Sesungguhnya ini adalah suatu urusan yang telah ditetapkan Allah atas anak-anak perempuan Adam. Maka lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang sedang melakukan haji, hanya saja janganlah engkau melakukan thawaf di Baitullah sampai engkau suci." (HR Bukhari Muslim).
Hadis ini menunjukkan pentingnya sikap rida seorang wanita atas apa yang sudah ditetapkan Allah untuknya. Haid tidak menutup seluruh akses ibadah, wanita masih bisa melakukan ibadah lain selain yang dilarang agama. Dan sekali lagi, meninggalkan ibadah yang dilarang saat haid tetaplah bentuk ketakwaan.
Mayoritas ulama menghukumi kebolehan dalam menggunakan pil penunda haid ketika situasi uzur dan darurat. Al-Azizi mengutip Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (1/450), Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak mengapa seorang wanita mengonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haid, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 12 Januari 1979 telah mengambil keputusan:
1) Penggunaan pil anti haid untuk kesempatan ibadah haji hukumnya mubah; 2) Penggunaan pil anti haid dengan maksud agar dapat mencukupi puasa Ramadhan sebulan penuh, hukumnya makruh. Akan tetapi, bagi wanita yang sukar menqadha puasanya pada hari lain, hukumnya mubah; dan 3) Penggunaan pil anti haid selain dari dua hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.
2. Pil penunda haid menurut medis
Menurut dr. Boyke dalam bukunya yang berjudul: Problema Seks dan Solusinya, penggunaan pil penahan haid tidak berbahaya selama penggunaannya dalam pengawasan dokter. Ia menuturkan bahwa yang tidak direkomendsikan adalah penggunaan pil yang dijual secara bebas, didikhawatirkan obatnya kadaluwarsa dan memberikan efek yang membahayakan tubuh.
Menurut dr. Boyke, cara kerja pil tersebut ialah menunda keluarnya darah haid dalam bentuk hormon progesteron. Hal ini tidak berbahaya karena tempat keluarnya haid dari pembentukan selaput lendir rahim tetap terbentuk. Haid akan kembeli normal ketika pemakaian pil dihentikan dan efek dari hormkn tersebut hilang.
Terkait efek samping, dr. Boyke mengatakan bahwa biasanya pil penahan haid memberikan efek samping berupa mual dan pusing.
Noordayat menambahkan pentingnya berkonsultasi dengan dokter mengenai perhitungan waktu haid hingga memastikan konsumsi pil tersebut dalam keadaan tidak hamil. Bahkan menurut Al-Azizi, secara medis penggunaan pil penunda haid tidak boleh semberangan. jika memungkinkan harus melakukan pemeriksaan menyeluruh sebelum berangkat untuk mengetahui adanya potensi penyakit yang mungkin diperberat dengan meminum pil tersebut. Hal ini karena efek samping yang ditimbulkan berbeda-beda, bahkan kondisi fisik setiap wanita pun berbeda. Jangan sampai niat memperlancar ibadah malah mejadi madharat karena efek yang ditimbulkan dari penggunaan pil tersebut.
3. Kesimpulan
Penggunaan pil penunda haid diperbolehkan sepanjang tidak mudarat dan sudah terjamin aman atas rekomendasi dokter. Memilih tidak menggunakan pun tidak mengapa. Mengingat ada efek samping dan kondisi fisik wanita yang berbeda-beda dan bisa jadi tidak direkomendasikan untuk mengkonsumsinya. Selain itu, nasihat Rasulullah kepada Aisyah yang menangis karena haid menunjukkan pentingnya sikap rida wanita atas ketetapan dan fitrah dari Allah tersebut. Di sini penulis lebih cendrung menghindari, karena obat-obatan selalu memiliki efek samping. Menikmati ibadah meski dalam keadaan haid tetap bisa dilakukan sebagaimana Rasulullah yang menghibur Aisyah dengan kalimat-kalimat yang menenangkan agar menumbuhkan keridaan dalam hati setiap wanita bani adam. Sebab meninggalkan ibadah yang dilarang pun pada hakikatnya adalah ibadah. Adapun keadaan darurat dan uzur, tentu konsumsi pil tersebut dibolehkan. Pada akhirnya semua bergantung niat dan keadaan.
Wallahu a'lam
0 Komentar