Muslimah Kertas | Referensi Muslimah Indonesia
Muslimah Kertas | Referensi Muslimah Indonesia

Panduan Lengkap Puasa Ibu Hamil dan Menyusui

Apakah mengganti dengan qadha atau dengan fidyah: begini penjelasan lengkap puasa ibu hamil dan menyusui
Wanita muslimah yang sedang hamil
Ilustrasi ibu hamil (Foto: freepik)




Muslimahkertas.web.id, Telah berbeda pendapat para ulama mengenai cara mengganti puasa ibu hamil dan menyusui, hal ini karena tidak terdapat nash yang tegas mengenai hukum mengganti puasa ibu hamil dan menyusui. Muslimah bisa mengambil hasil ijtihad ulama yang manapun, sebab masing-masing pendapat memiliki dalilnya masing-masing. Berikut penjelasannya.

  • Kapan ibu hamil dan menyusui membatalkan puasa
  • Pendapat para ulama tentang cara mengganti puasa ibu hamil dan menyusui
  • Pertimbangan untuk muslimah
  • Tata Cara Qadha dan Fidyah
  • Daftar Pustaka
  • 1. Kapan ibu hamil dan menyusui membatalkan puasa

    Secara hukum asal, hukum puasa di bulan Ramadan itu wajib, termasuk bagi ibu hamil dan menyusui. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan dan membolehkan ibu hamil dan menyusui membatalkan puasanya. Sebab syariat Islam memberi kelonggaran pada ibu hamil dan menyusui.
    Bagaimana jika ibu hamil dan menyusui berpuasa? Selama ia kuat melakukan ibadah puasa, maka tidak mengapa untuk berpuasa. Bahkan puasa itu menyehatkan. Seperti yang diungkapkan Aizid dalam bukunya yang berjudul: Buku Lengkap Fiqih Kehamilan dan Melahirkan, puasa bagi ibu hamil dan menyusui dapat membantu pembakaran lemak yang tidak dibutuhkan oleh tubuh hingga menjaga keseimbangan nutrisi. 
    Lantas, apabila ibu hamil dan menyusui berbuka atau membatalkan puasanya, bagaimana cara menggantinya? Berikut penjelasannya.

    2. Pendapat para ulama tentang cara mengganti puasa ibu hamil dan menyusui

    Ibnu Katsir menghimpun sebanyak empat pendapat mengenai ini. Dari yang hanya mewajibkan qadha saja (seperti Abu Hanifah), fidyah saja (seperti Ibnu 'Abbas), qadha dan fidyah sekaligus (seperti Mujahid), bahkan tidak mewajibkan keduanya (seperti Ibnu Hazm az-Zhahiri). 
    Ulama mazhab ada yang sampai merinci apakah ibu hamil dan menyusui membatalkan puasanya karena khawatir pada dirinya, anaknya, atau keduanya. Pendapat ini sebagaimana ulama mazhab Syafi'i dan mazhab Hanbali dengan rincian: apabila khawatir karena dirinya, maka wajib qadha. Apabila khawatir karena anaknya, maka qadha dan fidyah. Apabila khawatir karena dirinya sekaligus anaknya, maka wajib qadha.
    Ada pula yang sampai membedakan hukum untuk ibu hamil dan menyusui seperti ulama mazhab maliki yang berpendapat ibu hamil wajib qadha saja, sedangkan ibu menyusui wajib qadha sekaligus fidyah. Selain itu, ada ulama seperti Ishaq bin Rahawiah yang memberi pilihan, boleh memilih qadha, boleh juga memilih fidyah.
    Beberapa ulama mengkritisi qadha dan fidyah yang dilakukan bersamaan. Menurut Al-Qurthubi, mengumpulkan dua pengganti sekaligus (qadha dan fidyah) adalah perkara yang sangat memberatkan. Jalan keluar terbaik adalah menggunakan salah satu saja, dan beliau lebih condong kepada pendapat fidyah (Tafsir Al-Qurthubi, 2/269). Sedangkan menurut Al-Khatib, qadha dan fidyah tidak boleh berkumpul. Jika ada kewajiban qadha, maka tidak ada fidyah, begitupun sebaliknya. Yang wajib hanyalah salah satunya saja.
    Adapun berkenaan pendapat mayoritas, jumhur ulama berpendapat wajibnya qadha saja. Al-Khatibi dalam bukunya yang berjudul: Fikih Wanita Hamil, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama yang hanya mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.

    3. Pertimbangan untuk muslimah

    Seorang muslimah yang lebih mengutamakan pendapat mazhab yang diyakininya, maka silakan mengikuti pendapat tersebut. Dalam buku yang berjudul: Ustadz Abdul Shomad menjawab, dipaparkan pendapat imam mazhab yang empat. Menurut mazhab maliki, wajib qadha untuk ibu hamil, sedangkan untuk ibu menyusui wajib qadha dan fidyah. Menurut mazhab Hanafi, wajib qadha saja. Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hanbali, apabila berbuka karena khawatir pada dirinya, serta khawatir pada dirinya sekaligus anaknya, maka wajib qadha. Apabila tidak berpuasa karena khawatir pada anak saja, maka wajib qadha dan fidyah.

    Jika ingin memilih pendapat paling kuat, maka jumhur ulama mewajibkan qadha saja tanpa fidyah. 

    Apakah boleh memilih pendapat hanya fidyah?
    Rasulullah saw. bersabda,

    إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ، وَشَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

    “Sesungguhnya Allah meringankan setengah shalat untuk musafir. Dan meringankan puasa bagi Musafir, wanita hamil dan menyusui." (HR. Ahmad).
     Apabila tidak mampu qadha, maka dalam kategori yuthiqunahu (berat menjalankannya) sehingga boleh mengganti dengan hanya fidyah karena terdapat qaul shahabi dari Ibnu 'Abbas ra. yang dapat dijadikan hujjah, dan inilah pendapat paling meringankan. Kepada ibu hamil dan menyusui, Ibnu 'Abbas mengatakan,
    أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

    “Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.” (HR. Al-Bazzar)

    Yusuf Qardhawi dalam Fiqhu ash-Shiyam pun cenderung dengan pendapat hanya fidyah tersebut. Akan tetapi, beliau menekankan bahwa mengikuti pendapat jumhur ulama yang berpendapat qadha lebih baik apabila mampu mengqadha. 
    Dalam konteks wanita era modern, fase kehamilan dan menyusuinya jarang (tidak jarak berdekatan dan bisa diatur) sehingga ada kemungkinan untuk bisa qadha. Jika berada pada kondisi yang membuatnya tidak mampu qadha, maka boleh fidyah.
    Menurut Yusuf Qardhawi, hukum dibangun di atas prinsip meringankan dan menghilangkan kesulitan. Jika kesulitan tidak ada, hukum itupun tidak ada. Hal ini pula yang menjadi pijakan ibu hamil dan menyusui bahwa Allah menyukai kemudahan dan syariat Islam itu memudahkan. Dalam hal ini, pendapat Yusuf Qardhawi lebih dekat dengan kondisi wanita.
    Ada kondisi ibu hamil dan menyusui yang mampu qadha, ada pula yang tidak mampu. Misalnya ibu yang ditakdirkan hamil dan melahirkan di bulan Ramadan. Belum lagi fase berat menyusui. Contoh lainnya bisa jadi seorang ibu tidak sempat mengqadha karena ditakdirkan hamil lagi misalnya. Dalam hal ini, memilih pendapat fidyah saja lebih meringankan. Wallahu a'lam.
    Bagi yang memilih pendapat mayoritas ulama, silakan memilih qadha. Bagi yang memilih ihtiyath (kehati-hatian) silakan ditambahkan dengan fidyah, khusus jika ibu yang bersangkutan sehat tetapi ia khawatir anaknya sakit. Bagi yang memilih  pendapat paling meringankan silakan memilih pendapat Ibnu ‘Abbas yang hanya mengharuskan fidyah tanpa qadha ketika ia dalam kategori yuthiqunahu (berat menjalankannya).

    4. Tata Cara Qadha dan Fidyah

    Untuk memahami qadha, silakan baca panduan lengkap seputar qadha puasa. Untuk memahami fidyah, silakan baca panduan lengkap seputar fidyah.

    5. Daftar Pustaka


    Posting Komentar