{ads}

6/recent/ticker-posts

Materi Ceramah: Adab Ketika Memberi

  

Ilustrasi memberi hadiah
Ilustrasi (Foto: iStock)


Assalamu'alaikum warahmatullah wa barakatuh.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin. Ash-shalatu was salamu 'ala rasulillah wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.
Amma ba'du.

Hadirin rahimakumullah..

Tak peduli apakah kita orang yang kaya atau bukan, ada hak orang lain dari setiap harta yang kita miliki. Perintah untuk menginfakan sebagian harta yang dimiliki bukan hanya berlaku untuk orang kaya, semua kalangan bisa tetap berjiwa kaya dengan senantiasa menyedekahkan sebagian harta yang ia punya.

Perintah menyedekahkan harta umumnya disajikan dengan redaksi anfiqu min ma razaqnakum seperti dalam surah al-Baqarah ayat 254, surah al-Munafiqun ayat 10, surah al-Baqarah ayat 267, dan lain-lain.

Kita ambil satu contoh di surah al-Baqarah ayat 267:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu infakkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah ayat 267).

Makna Thayyibat dalam Ayat

Dalam tafsir ibnu katsir, ayat ini mengisyaratkan agar seorang muslim hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam soal harta sampai memiliki sifat kikir, sifat ini akan menjadikan ia menyesal di hadapan Allah. 

Menganai makna thayyibat, Ibnu Katsir mengutip pendapat para ulama diantarnya sahabat nabi Ibnu 'Abbas bahwa yang dimaksud thayyibat adalah harta yang baik, yang paling disukai dan paling disayang. Oleh karena itulah, kelanjutan ayat tersebut yaitu:

 وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ

Yang artinya, janganlah memberi yang buruk-buruk, lalu diinfakan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya.

Sabab nuzul ayat ini sebagaimana diriwayatkan imam Tirmidzi, dari al-Barra meriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan kaum anshar yang memiliki kebun kurma. Ketika kurma sudah dipetik dari kebun mereka, mereka biasa menggantungkannya di masjid sebanyak satu tandan atau dua tandan sebagai infak. 

Ta'mir masjid dan golongan suffah (fakir miskin) ketika tidak memiliki makanan sering mengambil setandan kurma yang digantung tersebut dengan cara memukulnya menggunakan tongkat hingga kurma itu berjatuhan lalu dimakannya. 

Sayangnya, diantara kaum anshar yang menyedekahkan kurma itu justru ada yang memilihkan kurma-kurma yang buruk dan yang sudah rusak, hingga turunlah ayat ini.

Sabab nuzul di atas diperkuat hadis riwayat Abu Daud dari Az-Zuhri, 

نهى رسول الله صَلَى اْللّٰهُ عَلَيْه وَسَلَم عن الجعرور و لون الحببق أن يؤخذا في الصدقة

"Rasulullah Saw. melarang memungut kurma ju'rur (yang buruk) dan kurma yang telah kering sebagai sedekah." (HR. Abu Daud).

Konsep Memberi dalam Ayat

Hikmah ayat ini begitu dekat dengan realita kehidupan sehari-hari. Seringkali apa yang kita bagikan kepada orang lain adalah barang-barang bekas yang selain tidak terpakai, kita pun tidak menyukainya untuk memakainya bahkan mungkin tidak layak. 

Padahal konsep memberi dalam ayat ini adalah memberikan pemberian yang terbaik. Bahkan diungkapkan ibnu 'Abbas, makna thayyibat adalah yang paling disayangi, contohnya seperti memberikan barang kesayangan kita. Konsep ini memang tidak mudah dan berat, tetapi ayat selanjutnya menguatkan kita yang diantara potongan ayatnya menyatakan:

الشيطن يعدكم الفقر

"Setan itu menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan." (QS. Al-Baqarah ayat 268).

Artinya, jangan sampai kita tertipu godaan yang setan yang salah satu jenisnya adalah memunculkan rasa khawatir dan takut untuk bersedekah dan menginfakan harta di jalan yang Allah ridhai. Dengan kata lain, sifat kikir pada diri manusia menunjukan berhasilnya misi setan tersebut. 

Padahal sedekah pada hakikatnya tidaklah mengurangi harta sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah saw dalam hadisnya.

Konteks kurma dalam sabab nuzul di atas berlaku umum, tidak hanya larangan memberi kurma yang berkualitas rendah, tapi berlaku untuk pemberian dalam bentuk apapun. 

Apakah itu memberikan makanan jangan yang sudah basi dan bau misalnya, memberi pakaian jangan yang sudah kucel tak enak dipandang, apalagi sudah ada bolong-bolong misalnya, memberi apapun itu tidak boleh yang sifatnya kita sendiri pun nggak mau makan dan memakai itu.

Lebih afdhal lagi, tidak hanya pemberian terbaik, bahkan dalam kondisi kita butuh pun kita tetap bisa memberi, sebagaimana di dalam suatu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa suatu hari seseorang datang menemui Rasulullah saw dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling afdhal?".

Rasulullah saw bersabda, "Engkau bersedekah dan engkau dalam keadaan sehat dan sangat menginginkan, engkau takut kefakiran dan menginginkan kekayaan, dan janganlah engkau lalai. Hingga apabila (napas) telah sampai di kerongkongan, engkau berkata: Untuk fulan sekian dan untuk Fulan sekian, dan telah menjadi milik Fulan!” (HR. Bukhari). 

Betapa hadis ini menggambarkan sebaik-baik sedekah, bahkan di saat kita dalam kondisi sangat berhajat dan membutuhkan, tetapi masih mau berbagi kepada orang lain. 

Ayat ini sebagai teguran terhadap kebiasaan yang mentradisi di keseharian kita, agar menghindari pemberian yang buruk, yang tidak layak pakai dan tidak layak konsumsi, yang kualitasnya rendah, dan kitapun tidak sudi memakan maupun memakainya. Setidaknya, pastikan pemberian kita di samping bermanfaat tetapi juga tetap memperhatikan kualitas.

Selain itu, hindari sifat dan kikir, takut hidup kita menjadi fakir, takut tidak memiliki apa-apa, kepikiran apabila sesuatu yang kita beri pernah menjadi barang kesayangan padahal sudah tidak terpakai, dan ketakutan lainnya yang membuat kita enggan memberi, itu hanyalah bisikan setan yang sangat senang apabila sifat kikir bersarang dalam kepribadian umat Islam.

Hadirin rahimakumullah..

Sifat menumpuk-numpuk harta dan enggan memberi adalah penyakit. Buang jauh-jauh sifat ini dalam diri kita. Bukankah orang yang sudah meninggal di alam kubur sana sedang berandai-andai ingin hidup lagi?

Apa yang akan mereka lakukan seandainya mereka diberi kesempatan lagi hidup? Allah Swt. berfirman,

وَاَنْفِقُوْا مِنْ مَّا رَزَقْنٰكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُوْلَ رَبِّ لَوْلَآ اَخَّرْتَنِيْٓ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍۚ فَاَصَّدَّقَ وَاَكُنْ مِّنَ الصّٰلِحِيْنَ

"Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Munafiqun ayat 10).

Dalam ayat ini digambarkan betapa menyesalnya orang yang sudah meninggal. Mereka ingin hidup lagi di dunia ini untuk bersedekah.

Mumpung kita masih hidup, kesempatan sedekah terbuka lebar. Tinggal kitanya, mau nggak bersedekah? Lalu, apa yang mau disedekahkan? Jangan sampai seperti yang disebutkan tadi. Menyedekahkan yang tidak layak pakai, tidak layak konsumsi, hindari memberi semacam ini.

Memberi pun ada adabnya. Minimal yang masih bisa dimanfaatkan, bukan sesuatu yang buruk dan usang. Dan lebih baik lagi pemberian yang terbaik. Sangat beruntung saat kita mampu memberi sesuatu yang sangat kita inginkan dan kita sayangi, itulah sebaik-baiknya sedekah.

Demikian yang bisa disampaikan. Akhiru kalam.

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Posting Komentar

0 Komentar